Laman

Jumat, 27 September 2013

Karena Keledai Mafia Harga Kedelai Ke Langit

Pengamatan mengapa Harga kedelai Semakin Mahal
Adakah Permainan Kartel dalam Perdagangan Kacang Kedelai?

webrizal.com - Jakarta
Tak usah jauh-jauh membayangkan import minyak bumi yang ada di luar negeri, sekarang harga kebutuhan bahan pokok dalam negeri saja sudah meroket ke langit. Meskipun terdengar lebay menyikapi kenaikan harga kedelai, namun terasa begitu perih buat kita bangsa pemakan tempe dan tahu yang paling "mengkudeta" pola menu konsumsi makanan kita sehari-hari.

Meski terdengar juga lebay dan bergaya bak profesor Vicky Prasetyo, jika hampir semua kebutuhan pangan kita tak sedikit yang bisa terlepas dari ketergantungan "statusisasi" penggunaan bahan baku kedelai.


Coba perhatikan "konspirasi kemakmuran" sebuah keluarga kecil mulai dari yang paling "labil ekonomi" makan hanya dengan kecap dan garam saja, hingga yang tak butuh lagi "uang kertas" (karena banyaknya uang kartu plastik dari banyak bank), yang makan steik tempe atau korned tahu ataupun bacem tempe tahu daging sapi import dengan bumbu kecap kedelai hitam dan lada hitam. Hmmmm, bahkan banyak keluarga menengah yang memang sebagian besar statusisasi ekonomi rakyat Indonesia, gak bisa lepas dari ketergantungan tempe dan tahu goreng dengan cabe rawit sebagai penambah nikmatnya makan plus susu kedelai yang dulu kian populer namun kini bisa dianggap "loh kok" mendadak sulit dicari?

Semua akar permasalahan tersebut karena hilangnya rasa peduli para pengusaha khususnya para pemodal pertanian tempe dalam negeri dan mereka yang punya kepentingan untuk mengimport kacang kedelai, yang bagi saya lebih mirip keledai daripada pengusaha import kedelai.

Mungkin mereka akan menganggap saya sebagai "orang gila" yang gemar memvonis para pengusaha sebagai mafia, sementara saya di lain sisi ya memang bisa mengamati dan menilai saja mengapa harga tempe (pasti juga tahu kan?) dan kecap tersandera oleh harga kedelai.

Nah kalau kita mau lebih peduli dan memperhatikan sedikit ke dalam labirin mekanisme perdagangan kedelai baik itu kedelai dari lokal yang berhubungan dengan petani kita sendiri, ataupun yang dari importir kedelai, maka kita setidaknya melihat lebih gamblang mengapa hal ini bisa terjadi. Dan siapakah yang harus bertanggung jawab, terutama kaum petani kedelai di tanah air dan penikmat panganan yang berbahan baku kedelai?

Saya mencoba meng-copy paste-kan sebuah arti tentang bagaimana tersanderanya harga kecap karena tak terkendalinya harga kedelai, seperti artikel berikut;


Harga Kecap Tersandera Kedelai
Harga kecap manis, kini tak lagi terasa manis di lidah Anizar (56 tahun), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ibu rumah tangga berputera empat itu harus pandai-pandai mencampurkan bumbu penyedap dapur itu ke masakan racikannya. Anizar mulai irit mengonsumsi harga kecap.

Seolah dikomando, harga kecap mengikuti kenaikan harga kedelai. Kecap, yang salah satu bahan baku utamanya dari kedelai, harganya ikut naik bersama harga kedelai. Beberapa merek kecap memang mengalami kenaikan harga rata-rata Rp 1.000 per botol di wilayah Tangerang, Banten. Ketika harga kedelai masih normal, harga per botol besar kecap dijual hanya se harga Rp 7.000.

Kenaikan harga kecap juga terjadi di Kota Medan, Sumatra Utara. Harga kecap merek ABC yang semula dijual Rp 12 ribu per botol besar, kini dilego di harga Rp 13 ribu. ''Kenaikan harga kecap itu sudah terjadi sejak pekan lalu akibat harga bahan baku pembuat harga kecap yang mahal,'' ujar Nurdin, pedagang di Pasar Medan.

Pengusaha kecap memang sedang di ujung tanduk, menyusul bergugurannya pengusaha tempe dan tahu akibat melambungnya harga kedelai, bahan baku utama pembuatan tempe dan tahu. Wiwik Listiyani, pengusaha kecap tradisional di Purwokerto, Jawa Tengah, mengaku serba salah.

Dia harus tetap memproduksi kecap agar cashflow rumah tangganya mengalir. Tapi di pihak lain, saat ini bukan waktu yang tepat bagi industri kecap rumahannya menghasilkan bumbu dapur itu dalam jumlah normal. Masih tingginya harga kedelai, menjadikan komoditas jenis kacang-kacangan yang diolah menjadi kecap itu tak sebanyak di saat harga wajar. Wiwik pun memutar otak. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah mengurangi produksi kecap miliknya yang berlabel Riboet itu.

Bagi Wiwik, lebih baik mengurangi produksi daripada menaikkan harga jual kecap. ''Karena jika tidak, industri kecap rumahan yang ada di Purwokerto akan tutup,'' kata Wiwik, Jumat (25/1). Pengurangan produksi kecap sebenarnya sudah dilakukan sejak Desember 2007 lalu. Bila setiap pekan mampu memproduksi kecap dalam waktu tiga hari, kini hanya sehari sepekan. Praktis, jumlah botol kecap cap Riboet yang beredar di pasar pun berkurang. ''Kami membutuhkan kedelai sekitar empat kwintal setiap kali produksi,'' katanya.

Dengan harga kedelai mencapai Rp 8.000 per kilogram, kecap yang dilepas ke pasaran di harga Rp 5.700 per botol. Di awal tahun 2007, harga kedelai berada di kisaran Rp 3.500-Rp 4.000 per kilogram. ''Kalau harga kecap juga dinaikkan, saya khawatir tidak ada yang beli.''

Memang, menjadi pilihan sulit baginya ketika kecap tak juga ikut naik harganya. Ini karena kedelai mempunyai andil 80 persen dalam proses produksi kecap. ''Jika harga gula merah yang naik, kita tak terlalu ribut karena biasanya sesaat, seperti pada musim hujan, dan setelah itu normal lagi. Tapi, kalau kedelai naik, pengaruhnya luar biasa,'' ujar Wiwik.

Agus, pengusaha kecap di Banyumas, Jawa Tengah, juga mengikuti pilihan Wiwik. Agus memilih untuk mengurangi produksi. Tak mungkin baginya menaikkan harga jual kecap dalam kondisi warga serbakekurangan seperti saat ini karena melonjaknya harga bahan pangan lain. Dampak turunan kenaikan harga kedelai, juga masih dirasakan pengusaha tempe di Yogyakarta. Perusahaan tempe terbesar di Daerah Istimewa itu, Pedro, telah merumahkan 25 karyawan sejak beberapa hari lalu.

Produksi tempe perusahaan yang berlokasi di Kel Ketanggungan, Wirobrajan, itu bahkan telah dikurangi hingga 80 persen. Sebelum harga kedelai melonjak, Pedro mampu menghabiskan 2.000 kilogram kedelai dalam tempo sehari untuk membuat tempe. Tapi, kini hanya 400 kilogram kedelai saja yang diolah. Harga jual kedelai produksi Pedro pun sudah dinaikkan, dari Rp 1.200 per bungkus kecil menjadi Rp 1.500.

Di Yogyakarta, menurut Kabid Bimbingan Teknis Disperindagkop Kota Yogyakarta, Bambang Supriyatno, terdapat 92 unit usaha tahu dengan jumlah pekerja 224 orang, dan 61 unit usaha tempe yang menampung 141 tenaga kerja. Sebanyak lima unit usaha gulung lapak karena tak mampu menanggung mahalnya biaya bahan baku kedelai, yaitu tiga unit usaha tahu di Ngaglik, Tegalrejo; dan dua unit usaha tempe di Sidikan, Umbulharjo. ''Jika kenaikan harga kedelai tak segera diatasi, usaha tahu tempe yang skalanya kecil akan kian terancam,'' ujar Bambang. Padahal, 50 persen unit usaha tahu-tempe di Yogyakarta didominasi usaha kecil.

Harga kedelai jenis lokal pekan ini di daerah Yogyakarta bertahan di harga Rp 8.500 per kilogram, dari harga Rp 8.250 per kilogram pekan sebelumnya. Berbeda dengan kedelai lokal, harga kedelai impor justru sudah melorot dari harga Rp 7.450 per kilogram menjadi harga Rp 7.200 per kilogram. Kendati, penurunan harga itu masih terhitung tinggi dibandingkan sebulan lalu.

Ketua Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Inkoptti), Sulchan RM, mengaku baru 20 persen pengusaha tahu anggotanya yang berhenti berproduksi. ''Hanya 50 persen yang masih berproduksi, sisanya berproduksi jauh dari kapasitas. Biasanya 10 kuintal, hanya lima kwintal. Dua kwintal, menjadi hanya satu kwintal,'' jelas Sulchan. Harga kedelai yang melonjak tinggi membuat banyak pengusaha tahu menurunkan kapasitas produksi dan memangkas jumlah karyawan. Mereka menyiasati dengan kerja bergiliran agar tak terlalu banyak merumahkan karyawan. Pengusaha yang memilih gulung lapak, menurut Sulchan, rata-rata industri tahu skala rumah tangga yang dikerjakan anggota keluarga. ''Kalau keluarga sendiri atau ditambah pembantu, ya memilih istirahat,'' katanya.

Harga kedelai memang sempat turun dari harga Rp 6.000 per kilogram menjadi harga Rp 6.700-Rp 6.800 per kilogram. Namun, itu didapat dari petani lokal yang kualitasnya jelek. ''Kemungkinan akibat cuaca yang tak bersahabat dan kurang kering dijemur.'' Dia berharap pemerintah segera menurunkan harga kedelai di level yang wajar, sekitar harga Rp 5.500-Rp 6.000 per kilogram. ''Lebih bagus lagi bila kedelai dipasok petani lokal.'' ***

sumber : http://harga.indexarticles.com/2008/02/harga-kecap-tersandera-kedelai.html

Jika membacanya kita mulai sedikit paham bagaimana kenaikan harga bahan baku seperti kedelai "terkadang" bisa merusak tatanan hidup satu negara. "Mosok mergo regane kacang kedele, yo rusak sak negoro?" kata teman saya yang orang Jawa memprotes, "Masa iya, karena harganya kacang kedelai bisa merusak satu negara?"

Saya hanya bisa mengangguk tersenyum, dan berfikir bagaimana menjelaskan hal ini dalam bahasa awam yang sederhana. Hmmmm, kayaknya saya buat penelitian khusus tentang pengaruh fluktuasi harga kedelai sebagai thesis saya, dan tentunya saya harus mempertahankannya bukan hanya untuk desertasi saya saja, tapi untuk kepentingan informasi bagi siapa saja yang merasa perlu mengetahuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar